Rabu, 20 November 2013

Scarlet Letter

Hari ini aku akan membuktikan bahwa seorang pria dan wanita ditakdirkan menjadi satu. Bahwa mereka adalah satu. Bahkan bagi yang terlemah sekalipun.
Hari ini aku akan mengganti nama belakangku untuk selamanya. Dua hati yang akan bersatu. Dua tubuh menjadi satu. Mulai sekarang, aku adalah Sara…

Aku menatap kosong pada kertas berisi tulisan tangan kakakku. Tulisan dengan tinta merah tua itu belum sepenuhnya selesai ditulis. Tulisan itu pasti menjadi aktivitas terakhir kakakku sebelum tubuhnya ditemukan tak sadarkan diri dikamarnya. Tepat pagi hari sebelum upacara pernikahannya berlangsung.
Kakakku, Sara Janet Johnson, mengidap penyakit jantung sejak usianya dua belas tahun. Dokter selalu mengatakan pada kami bahwa umurnya tidak akan lama lagi. Tetapi ia terus hidup hingga tiga belas tahun kemudian dan menemukan seorang calon pendamping hidup.
Aku mendongak dan melihat dari kejauhan, Dave Stuart tengah meraung dan mengamuk setelah mendengar pernyataan dokter bahwa Sara tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Hal itu tidak berlebihan, bukan? Bagaimana mungkin dokter memvonis kematian calon istrimu tepat di hari seharusnya pernikahan kalian berlangsung?
Aku melipat kertas di tanganku dan memasukkannya ke dalam saku. Aku memandang berkeliling dan mendapati beberapa anggota keluarga masih terisak. Aku mendesah pelan, bangkit, dan berjalan menuju kamar Sara. Sara masih belum sadarkan diri dan tidak boleh diganggu oleh siapapun. Aku hanya bisa melihatnya terbaring lemah dari kaca jendela.
Sejak kecil Sara mempercayai dongeng tentang sepasang manusia yang dikemudian hari akan disatukan oleh waktu. Ia juga mempercayai mimpi setiap orang akan terwujud. Seharusnya hari ini adalah giliran mimpi-mimpinya terwujud.
                                                            ***
Dave mengalami kecelakaan parah sepulangnya ia dari rumah sakit tadi malam. Mobil hitam yang dikendarainya tidak sengaja menabrak sisi lain pembatas jalan dan mengakibatkan bagian depan mobilnya hancur. Keadaan Dave tidak baik. Dokter bilang ia kehilangan banyak darah.
Aku kembali ke kamar Sara dengan langkah gontai. Saat tiba di kamar Sara, aku mendapati ia telah sadarkan diri. Ibu tengah berdiri di sisi tempat tidurnya dengan wajah sendu. Kulihat Sara menampakkan ekspresi yang sedikit kacau. Kurasa Ibu telah mengatakan apa yang terjadi pada Dave.
Ketika aku tiba di sisi lain tempat tidur Sara, mata sendunya langsung menatap lekat ke arahku.
“Apa dia baik-baik saja?”
Tentu saja tidak. Aku menghela napas dalam.
“Biarkan aku menemuinya sekarang,” kata Sara dengan mata berkaca-kaca.
            Ibu menggenggam tangan Sara lebih erat. “Tidak, Nak. Kau harus tetap disini. Kau masih harus banyak istirahat.”
            Sara terisak pelan. Aku menggenggam tangannya yang sebelah lagi.
            “Semua akan baik-baik saja. Kuharap begitu…”
                                                            ***
Aku tengah membaca majalah fesyen minggu ini ketika seorang dokter dan dua perawat masuk. Sudah waktunya pemeriksaan dan minum obat. Aku mengawasi gerak-gerik mereka dengan tatapan sinis. Sungguh memuakkan. Mereka bilang Sara tidak akan selamat. Tetapi mereka terus saja mencekokinya dengan obat-obatan tidak berguna itu.
Setelah pemeriksaan usai, dokter itu melepaskan kacamatanya dan tersenyum tipis pada Sara.
“Kami akan berusaha untuk mendapatkan jantung baru yang cocok denganmu,” kata dokter.
Aku terkejut. Begitupun Ayah dan Ibu.
“Benarkah?” tanya Sara. “Itu artinya aku masih memiliki harapan untuk hidup?”
Dokter itu tersenyum lagi. “Kudengar akan ada donor jantung yang masuk. Memang belum pasti. Tapi kita semua masih bisa berdoa.”
Aku tercenung sejenak. Pikiranku terus beputar, mencerna kalimat dokter tersebut. Selanjutnya aku, Ibu, dan Ayah saling bertukar pandang. Saat dokter dan dua susternya akan pergi, Ayah bangkit dan menghampiri mereka.
“Permisi, Dok. Aku ingin bicara denganmu.”
Mereka pergi keluar sementara aku dan Ibu masih saling tatap sampai kudengar Sara memanggilku.
“Alice, antarkan aku ke kamar Dave. Aku harus memberitahu kabar gembira ini padanya.”
                                                            ***
Ibu Dave mambukakan pintu kamar untuk kami. Wajahnya terlihat kacau. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Tetapi ia tetap memaksakan seulas senyum pada Sara.
“Masuklah. Aku akan segera kembali,” katanya sambil berlalu melewati kami.
Aku mendorong masuk kursi roda Sara mendekat ke tempat tidur dimana Dave terbaring tidak berdaya. Tubuh laki-laki itu dipenuhi alat bantu. Aku tahu, tidak mudah bagi Sara untuk menyaksikan hal ini.
Terdengar isakan pelan Sara. Hanya sejenak. Sara berusaha keras untuk menguatkan diri. Ia menggenggam lembut tangan Dave yang terbalut perban dan selang infus.
“Jangan khawatir, Dave. Sebentar lagi aku akan sembuh. Kaupun harus begitu. Sebentar lagi kita akan menjadi satu,” kata Sara dengan suara bergetar.
Sara menarik tanganku tanpa mengalihkan tatapannya dari Dave.
“Apa benar tadi malam Dave siuman?” tanyanya sendu.
Aku mengangguk pelan. Ya, yang kudengar begitu. Dave sempat mengatakan sesuatu yang membuat Ibunya menangis semalaman.
                                                            ***
Sara baru sadarkan diri lima belas jam pasca operasinya berhasil. Ia mengerjap beberapa kali dan menatap berkeliling.
“Dimana Ayah dan Ibu?” tanyanya ketika tidak mendapati siapapun kecuali aku.
“Mengunjungi Dave,” jawabku berusaha jujur.
“Dave? Benar. Aku harus menemui Dave. Aku harus memberitahunya bahwa operasinya berhasil.”
Sara berusaha bengkit tetapi aku menahan gerakannya. “Kau masih harus istirahat.”
“Kumohon. Aku ingin mengatakan kabar gembira ini padanya.”
Aku hampir saja gagal menghalangi Sara kalau saja dokter dan suster tidak datang untuk memeriksa kondisi Sara. Setelah selesai, dokter memintaku ikut ke ruangannya untuk membicarakan beberapa hal. Dokter mengatakan beberapa hal yang perlu dilakukan dan dihindari Sara selama masa pemulihan. Tetapi aku tidak sepenuhnya mendengarkan karena aku terus mengkhawatirkan Sara yang tadi kutinggalkan sendirian di kamar. Sialnya, aku lupa menjauhkan kursi roda dari sisi tempat tidur.
Setengah berlari aku kembali ke kamar Sara dan tidak mendapati dirinya disana. Sudah kuduga. Aku segera pergi ke tempat dimana Sara pasti berada.
Langkahku melambat ketika melihat Sara terdiam di depan kamar Dave. Aku perlahan mendekat. Mata Sara menatap kosong pada kamar yang sudah tidak berpenghuni itu. Dengan hati-hati kuletakkan tanganku di pundak Sara. Saat itulah tangisannya pecah. Ia menangis keras sambil memukul-mukulkan tinjunya ke dada.
“Kenapa dia pergi meninggalkanku?” sesal Sara diantara isak tangisnya.
Aku membungkuk dan menggeleng. “Tidak, Sara. Dia tidak pergi. Dia ada disini.” Aku meletakkan telapak tanganku di dada Sara dan melanjutkan, “selamanya.”
                                                ***
Sebagian orang berpikir mimpinya tidak pernah terwujud. Tanpa mereka sadari mimpi itu terwujud dengan cara yang berbeda. Seperti Sara, yang telah mewujudkan mimpinya meskipun dengan cara yang diluar dugaan.

Pada akhirnya Sara bersatu dengan cinta sejatinya. Meskipun tubuh Dave terkubur di bawah pusara yang kering, tetapi jantungnya terus berdetak untuk Sara. Memompa darah keseluruh tubuh, dan memberi kehidupan bagi Sara. Mereka tidak akan pernah terpisah. Karena Dave akan hidup selamanya di dalam diri Sara.


0 komentar:

Posting Komentar

Photobucket