“Cha! Happy birthday.”
Larissa terkesiap karena
seseorang berteriak keras dan memeluknya tiba-tiba dari belakang. Larissa, atau
yang biasa dipanggil Icha oleh teman-temannya, menoleh dan mendapati orang yang
mengejutkannya adalah sahabatnya, Andien.
Icha melepaskan diri dari pelukan
erat Andien dan menepuk dahi sahabatnya itu dengan kesal. “Bukan sekarang,
keles.”
Andien tertawa. “Ya elah. Besok,
sekarang, sama aja, sih. Lo kan tau gue paling nggak bias begadang. Jadi gue
nggak bakal ngucapin jam dua belas nanti.”
Larissa mencibir dan lanjut
menyantap nasi gorengnya. Sementara Gladis yang sedari tadi memperhatikan kedua
sahabatnya hanya terkikik pelan. Andien langsung ambil tempat di samping Icha
seraya menyeruput minuman di atas meja tanpa tahu siapa pemiliknya.
“Eh, betewe, lo udah dua puluh, Cha. DUA PULUH!” kata Gladis menekankan
angka dua puluh pada kalimatnya. Angka yang akhir-akhir ini terdengar tidak
bersahabat di telinga Icha.
“Kamfer! Biasa aja kali ngomong “dua
puluh” –nya,” cibir Icha.
Andien dan Gladis tertawa
berbarengan.
“Itu juga udah biasa, Cha. Lo-nya
aja yang sensi tiap kali mau ulang tahun,” lanjut Gladis.
Icha berdecak sambil
mengaduk-aduk sedotan dalam gelas es jeruknya. “Iya, nih. Sebel. Gue tu paling
males kalo udah masuk bulan ini. Gue males kalo nginget-nginget umur gue nambah
dan… berati, gue nambah tua. Plis deh!”
“Syndrom menua ada kali, ya,”
kata Andien menimpali sambil memutar bola mata. “Lebay, lo! Ya, mau gimana
lagi, coba? Semua orang kan pasti tambah tua, Cha.”
Icha tidak menanggapi. Sebenarnya
pembicaraan tentang ulang tahun dan tambah umur adalah hal yang selalu ia
hindari setiap masuk bulan ulang tahunnya.
“Eh, Cha. Sekarang kan lo udah
dua puluh, tuh. Kapan mau berenti single?” Tanya Gladis sambil terkikik.
“Iya, sih, Cha. Single sih
pilihan. Tapi kalo keeterusan jadi kutukan, kali,” timpal Andien yang dibalas
lemparan tisyu dari Icha.
“Sialan, lo! Nyumpahin gue?”
Andien dan Gladis tertawa lagi. “Ya,
nggak gitu… Tapi sekarang kan lo udah mulai menapaki masa dimana pendewasaan
diri. Nyoba untuk cari pasangan nggak ada salahnya, kali,” ucap Andien.
“Iya, Cha. Okelah kalo lo
nganggep pacaran tu malesin. Lo lebih asyik sendiri karena bebas. Tapi, someday, lo bakal tetep nemuin pasangan,
kan? Nggak ada salahnya nemuin kriteria yang pas dari sekarang,” tambah Gladis.
“Well,
the only question is, lo nggak mau punya cowok, tapi mau punya suami, kan?”
Icha memang agak berbeda dari
teman-temannya yang lain. Diantara puluhan temannya, rasanya cuma Icha yang
belum pernah pacaran seumur hidupnya. Dan sekarang, dalam hitungan jam, umurnya
akan bertambah menjadi dua puluh.
Pertanyaan Andien dan Gladis soal
“Icha mau punya suami, kan?” tentu akan dijawab “ya” olehnya. Icha memang tidak
tertarik dengan pacaran yang menurutnya nggak menjamin apa-apa. Tapi kalau
untuk suami, tentu aja Icha mau. Somebody’s
gotta doubt her as a normal girl kalau sampai jawabannya “nggak”.
Icha nggak memungkiri, pacaran
(atau perkenalan) sebelum memilih pasangan untuk jadi pendamping hidup itu
penting. Mungkin, someday, Icha juga
mau pacaran. Tapi dari pengalaman-pengalaman orang sekitar yang ia lihat dan
dengar soal pacara selama ini cuma hal-hal yang sebenarnya nggak penting . yang
tentunya nggak akan dialami sama orang yang single.
Kalau ditanya apa Icha punya kriteria
calon pacar yang ia mau sebenarnya nggak terlalu spesifik. Tapi Icha benci
banget sama cowok over protective. Sedangkan
selama ini banyak keluhan temen-temennya tentang pasangannya yang over protective. It’s one of reasons
kenapa Icha nggak mau pacaran. Icha benar-benar nggak perlu cowok kayak gitu,
karena setiap hari udah ada dua orang yang selalu over protective. Mama dan Papa-nya.
Well, just think about it. Kadang care sama perhatian yang lebay itu emang beda tipis. Apalagi kalo
perhatiannya sampe sms atau telepon tiap menit untuk ngingetin; jangan lupa
makan, Jangan lupa mandi, jangan lupa minum obat, jangan lupa tidur. Hello! Icha
piker itu pertanyaan paling aneh diantara orang pacaran. Hal-hal kayak gitu
Icha rasa nggak perlu untuk diingetin. Kalau Icha sampai lupa hal-hal tersebut,
dia nggak akan hidup sampai sekarang. Buktinya tanpa harus diingetin pacar,
Icha nggak pernah lupa makan, mandi, apalagi tidur. Apalagi kalau udah nagging. Even she didn’t wanna think about
having a boyfriend who likes to nags her.
Sebenarnya
Icha lebih suka liat-liat cowok bad boy,
yang nggak pernah repot merhatiin dengan kata-kata tapi perbuatan. Kalau memang
perhatian tunjukin dengan perbuatan. Bukan cuma nanya-nanya lewat sms. Somehow, Icha ngerasa cowok bad boy lebih charming. Itu emang bener, atau Icha kebanyakan nonton film?
Sudah jadi kebiasaan Icha untuk
nge-blog di malam sebelum hari ulang
tahunnya. Jadi Icha menyalakan laptop-nya dan mulai mengetik. Besok adalah hari
ulang tahunnya yang ke dua puluh. Dan dari pembicaraannya tadi siang dengan dua
sahabatnya, Icha jadi tergelitik untuk memikirkan siapa cowok yang suatu saat
bakal jadi pendamping hidupnya. jadi, Icha mulai menulis tentang itu.
Tomorrow is my birthday and I’m turning
twenty. But suddenly I feel curious about who will be my spouse in the future. Well,
I don’t like talking about boys and I’m not interested to have any relationship
with them. At least for now. But, still… how can I not think about it when my
ages always getting older every year. I just wonder, where will I meet him? When?
In what situation? Is he exactly like I want him to be? Is he appears as my
typical? Have I ever meet him in my twenty years of life? Although I don’t need
to know now, I really wish somebody could give me the answers.
Icha terbangun dari tidurnya dan
langsung memikirkan apa yang baru saja ada di mimpinya. Icha mengingat-ingat
walau tidak sepenuhnya ingat. Icha yakin ia baru saja memimpikan sosok yang
sama sekali belum pernah ia temui. Ia yakin tidak mengenal cowok itu.
Mimpinya benar-benar aneh. Icha ingat
ia mimpi baru saja masuk ke sebuah universitas. Ia tidak yakin tapi ia tahu ia
bukan baru kenal dengan cowok yang duduk disampingnya di dalam kelas tersebut. Dan
cukup melihat gelagatnya, Icha tahu cowok itu menyukainya.
Icha tidak bias mengingat
wajahnya dengan jelas. Mungkin karena ia memang belum pernah bertemu dengan cowok itu di kehidupan
nyata. Tetapi ia yakin, cewek manapun yang melihatnya pasti mengatakan kalau
cowok itu good looking. Walaupun sebenarnya
his appearance is not her type. Icha nggak
bias menggambarkan satu per satu kejadian dalam mimpi itu. Tapi mereka cuma bertemu
di dalam kelas selama dua kali dan cowok itu selalu ambil tempat di sampinya. Padahal
Icha yakin ada satu cewek di dalam kelas itu yang selalu nempel dengan cowok
itu. Tapi cowok itu tidak pernah menghiraukannya. Yang ia lihat cuma Icha.
Perlakuan cowok itu terhadap Icha
juga sangat baik. Ia sangat memerhatikan Icha. Sesuai dengan yang Icha
inginkan. Tindakan, bukan ucapan. Dia bahkan
mau dimintai tolong untuk mengerjakan soal yang sulit bagi Icha. Icha sendiri
tidak begitu menanggapi. Bukannya jual mahal, tapi dikehidupan nyata Icha
memang tidak terlalu menanggapi cowok yang modus padanya. Jadi, Icha tidak
terlalu ambil pusing dengan cowok yang satu itu.
Ada satu hal yang unik dimana Icha melihat cowok itu bukan tipe bad-boy yang selalu ia idamkan. Dia cowok baik yang, somehow, masuk dalam kriteria cowok idaman Icha.Mungkin apa yang orang bilang tentang cowok "bad-boy itu bukan buat didapatkan, tapi cuma untuk dikagumi" itu benar.
Tapi ada hal aneh dalam mimpi
tersebut. Pertama, Icha mahasiswi semester 5, bukannya freshman seperti yang ada di mimpi itu. Kedua, Icha ada dikampus
yang mayoritas berbeda agama dengannya, dan cowok itu juga termasuk bagian dari
agama tersebut. Kenapa? Kenapa Icha mendapat mimpi semacam ini di malam ulang
tahunnya yang ke dua puluh. Tepat setelah Icha memikirkan keinginannya untuk
bertemu dengan laki-laki yang kelak akan menjadi pasangan hidupnya.